Menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang Harus Dibayar dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Objek Pajak Pertambahan Nilai
Apabila
ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6
(enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya
dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan
PPN Jasa.
Barang
yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: barang hasil pertanian,
barang hasil perkebunan; barang hasil kehutanan; barang hasil
peternakan; barang hasil perburuan; barang hasil penangkaran; barang
hasil perikanan; barang hasil budidaya; barang hasil pertambangan dan
barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari.
Pengusaha
Kena Pajak adalah pengusaha, baik berbentuk orang pribadi maupun badan
termasuk BUT yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar negeri,
melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar negeri, yang
melakukan penyerahan BKP, kecuali pengusaha kecil.
Daerah
Pabean adalah daerah Republik Indonesia. PKP yang melakukan penyerahan
tersebut harus dalam lingkungan perusahaan/pekerjaannya.
Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Kalau
dalam objek Pajak Pertambahan Nilai yang ditekankan adalah adanya
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka dalam subjek
Pajak Pertambahan Nilai yang dibahas adalah siapa yang melakukan
penyerahan BKP dan atau JKP.
Adapun
yang menyerahkan adalah Pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat berupa
Orang Pribadi atau juga Badan. Pengertian badan dirumuskan dalam Pasal 1
angka 13 UU PPN 1984 sebagai berikut:
Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, melakukan atau tidak melakukan usaha.
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Untuk
menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu
tentang Dasar Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.
Pengertian
harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco
gudang atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak
termasuk PPN, potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak dan
barang retur.
Saat dan Tempat Pajak Terutang
Untuk
menghitung PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat
terutangnya dan tarif PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan
telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, sedangkan pada Kegiatan Belajar
2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan tempat pajak terutang.
Uraian
tentang saat terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk
barang berwujud dan bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang
berwujud tidak bergerak, PPN JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri,
PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan tertentu
yang ditunjuk.
Ketentuan tempat pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki cabang-cabang.
Tarif dan Menghitung PPN
Setelah
memahami dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif
PPN, maka dengan mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan
cepat.
Tarif
PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana
dalam rangka memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga
diuraikan tentang tarif efektif termasuk asal-usul tarif efektif.
Dalam
menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh menghitung, termasuk
menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain, seperti PPN atas
pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas penyerahan kaset
rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud, PPN
atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman Paket.
Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak
maupun pembayaran
Menghitung PPN Pajak Masukan
Sasaran
Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai
impor, atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP,
atau pemberian JKP dan seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah
tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara barang yang dibeli
tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk
memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar
pengenaan adalah harga jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN
Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan sebagainya. Tetapi
pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.
Baik
pada UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM maupun UU No. 18 Tahun
2000 yang menggantikannya sama-sama menerapkan kredit PPS atas bahan
baku, bahan pembantu dan faktor produksi lainnya, dengan menerapkan
tarif Pajak yang proporsional dan tunggal.
Pajak
yang dikreditkan disebut dengan Pajak Masukan, sedangkan Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang disebut dengan Pajak Keluaran.
Agar
sistem kredit pajak Pajak Masukan ini tidak disalahgunakan maka diberi
batasan tentang Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan
yang tidak dapat dikreditkan, dengan beberapa contoh.
Mengkredit Pajak Masukan
Yang
melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari
pengenaan pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah
pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya pertambahan nilai
untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk
memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan
harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang
terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan
penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Meskipun
demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak
semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan
terbatas yang telah memenuhi persyaratan.
Pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP atas Penyerahan sebagai BKP dan PKP Norma Penghitungan
Tidak
setiap Pajak Masukan dapat dikreditkan dari pembelian BKP atau JKP.
Sedangkan Pajak Masukan tertuang dalam satu Faktur Pajak Masukan, baik
atas pembelian BKP atau bukan BKP. Demikian pula Pajak Masukan karena
penggunaan Barang Modal, yang boleh dikreditkan terbatas pada Pajak
Masukan atas Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan usaha yang
menghasilkan BKP. Oleh karena itu, setiap pengkreditan Pajak Masukan
terselip Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Rumus
menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan dibedakan antara rumus
untuk Barang Modal dan Bukan Barang Modal, disamping rumus menghitung
Pajak Masukan yang harus dikembalikan berkenaan penggunaan Barang Modal
bukan untuk menghasilkan BKP.
Pajak Masukan bagi PKP yang Menggunakan Norma Penghitungan
Pemungutan
pajak dapat dikatakan adil, baik pada tingkat horisontal maupun
vertikal, yang besarnya pajak terutang sesuai dengan objek yang diterima
atau diperoleh wajib pajak. Untuk mendapat pemungutan pajak yang adil
tersebut diperlukan data yang akurat. Salah satu sumber data sekaligus
sebagai pencerminan tingkat partisipasi wajib pajak adalah angka-angka
dalam pembukuan.
Melalui
Pasal 28 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1994, UU mewajibkan kepada setiap
wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, yang isinya dapat
menggambarkan perusahaan, modal perusahaan, utang perusahaan dan
seterusnya, yang dapat mendukung dalam menghitung pajak terutang, baik
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM) dan lain-lain jenis pajak.
Pembukuan
harus disusun di Indonesia, dalam bahasa Indonesia, huruf latin, dan
angka arab, serta menerapkan prinsip taat asas, baik Tahun pembukuan,
metode penyusutan, maupun metode penilaian persediaan dan sebagainya.
-
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00 dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari penyelenggaraan pembukuan. Oleh karena itu, untuk menghitung penghasilan netonya diperkenankan dengan menggunakan Norma Penghitungan.
-
Wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan menggunakan norma penghitungan dalam menghitung penghasilan neto sebagaimana disebut pada Pasal 14 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2000, dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan diperkenankan menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana ditentukan pada Pasal 9 ayat (7) UU No. 18 Tahun 2000.
Untuk
keperluan pelaksanaan ketentuan tersebut PKP wajib membuat catatan
nilai peredaran bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal PKP
disamping melakukan penyerahan BKP juga bukan BKP, catatan dimaksud agar
dipisah antara penyerahan yang terutang pajak dengan penyerahan yang
tidak terutang pajak pertambahan nilai. Dalam hal terjadi perubahan,
sejak masa pajak pada permulaan Tahun buku berikutnya PKP tidak lagi
diperkenankan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan
ini tidak berlaku bagi PKP pedagang eceran dengan nilai sebagai dasar
pengenaan pajak.
Administrasi Penggunaan Norma Penghitungan
Tidak
semua wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan dapat
menggunakan Norma Penghitungan dalam menghitung Penghasilan Neto,
melainkan terbatas pada wajib pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan peredaran brutonya seTahun
kurang dari Rp600.000.000,00. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan
wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak, dalam hal ini
adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari Tahun pajak yang bersangkutan. Meskipun demikian, wajib pajak yang
bersangkutan masih wajib membuat catatan peredaran bruto atau penerimaan
penghasilan. Wajib pajak tersebut, dalam hal sebagai Pengusaha Kena
Pajak dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan.
Baik
Petunjuk Norma Penghitungan Penghasilan Neto maupun Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ditetapkan melalui keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
Penggunaan
Norma Penghitungan dan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan, di samping
memudahkan wajib pajak, juga menghilangkan kesempatan wajib pajak untuk
dapat kompensasi, restitusi dan hak-hak lainnya.
Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Setiap
pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan
mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk
mencapai sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan
keadilan tersebut maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif proporsional dan
progresif.
Dengan
diberikan contoh penghitungannya, ternyata tingkat progresivitas PPnBM
bersama-sama dengan PPN, menunjukkan lebih tajam daripada PPnBM yang
menggantikan PPn sebagaimana tertuang pada UU PPn 1951.
Inilah
yang menjadi latar belakang mengapa Pajak Penjualan atas Barang Mewah
diberlakukan bersama-sama dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.
Menghitung Pajak Penjualan atas Barang Mewah Non-Kendaraan Bermotor
Sebagai
pelaksanaan pemungutan tambahan pada pemungutan PPN dalam rangka
menciptakan pemungutan yang adil di bidang pajak atas penyerahan barang,
maka diberlakukan pemungutan PPnBM. Agar supaya lebih memantapkan
tingkat keadilan vertikalnya maka diterapkan tarif proporsional yang
progresif, dimana tarif pajak PPn BM yang minimal 10% dan maksimal 50%
dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok dengan tarif 10%,
kelompok dengan tarif 20% dan kelompok dengan tarif 35%.
Akhirnya
dapat dihitung besarnya PPnBM atas penyerahan barang berupa kendaraan
bermotor dan besarnya PPnBM atas impor kendaraan bermotor dengan
unsur-unsurnya
Walaupun
cara pemungutannya sama sebagaimana PPnBM atas penyerahan BKP, namun
pelaksanaan pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak,
bersama-sama memungut Bea Masuk.
Sumber Buku Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Barang Mewah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar